Syauqi masih saja tidak bisa tertidur siang. Matanya seperti dikelilingi kunang-kunang. Sejak kecil, ia selalu bermimpi ingin bertemu bidadari mandi. Sebab, sang atok pernah bercerita selalu ada banyak bidadari yang mandi di sebalik pelangi. Syauqi ingin sekali mandi bersama para bidadari itu. “Minimal bisa mandi dengan seorang saja, tidak usah diborong semua,” dalam benaknya. 

Dari pengalaman percintaan, Syauqi bukan lah termasuk kategori lelaki yang beruntung. Ia sudah tiga kali gagal, ditolak mentah-mentah oleh wanita. Katakan lah itu sebuah hat-trick yang miris. Padahal, hat-trick adalah sebuah kebanggan kelas wahid bagi pemain sepak bola. Akan tetapi, tentu berbeda bagi Syauqi, hat-trick miliknya bukan lah sebuah prestasi yang harus dibanggakan, plus dirayakan dengan berbagai macam euforia bersama kembang api, seperti hal nya yang pernah ia lakukan ketika Chelsea keluar menjadi juara di pentas UCL (UEFA Champions League). 

Jika berbicara soal fisik, tentu saja rupanya mirip seperti pemain film India. Wajahnya tampan tidak kepalang. Matanya sayup manja, hidungnya mancung, berewok yang melambangkan jati diri pria sejati, dan senyuman yang setara dengan bayi yang baru saja lahir. 

“Kalau Syauqi ingin melihat bidadari mandi, datang lah ke sungai Tembung, jika musim penghujan datang, biasanya mereka ada di sana,” ujar sang atok.

Ucapan sang atok itu lah yang membuat imajinasinya terus tertantang, seperti bermain kuis TTS (Teka Teki Silang) yang tak kunjung pernah bisa ia tuntaskan. TTS yang selalu saja membuatnya menyerah dan muntah. Namun, persoalan bidadari tentu berbeda. Bidadari tak pernah kunjung mengendurkan semangatnya. Ucapan sang atok adalah fajar di tengah gelap gulitanya Medan ketika terjadinya pemadaman. Ucapan yang terus ia pegang sampai ia akil baligh. 

Sungai Tembung sangat dekat dengan hubungan sosial Syauqi. Di sana ia mendapatkan tempat untuk berkeluh kesah, serta memamerkan keistimewaannya sebagai pemain biola yang legendaris. Walaupun gesekannya pada biola tak kunjung rapi ia mainkan, dan cenderung fals. Akan tetapi, sudah cukup menghibur pohon-pohon duku, dan pisang yang tumbuh berdampingan dengan kuburan. 

Waktu menunjukkan pukul 16.00 sore. Awan menggumpal begitu cepat. Mendung datang secara mendadak, seperti penolakan wanita pada dirinya, yang selalu saja hadir dadakan. Tidak berapa lama, ia bangkit dari tempat tidurnya, hujan pun perlahan membasahi bumi. 

Ia menghidupkan televisi hitam putih, namun tidak ada siaran yang menghibur selain berita tentang Medan yang lagi-lagi kebanjiran. 

“Kesempatan yang ku nantikan”, hujan turun, dan aku tinggal menunggunya reda. Setelah itu, pasti akan ada pelangi, dan bidadari mandi,” pikirnya. 

Benar saja prediksinya. Tidak berselang lama, hujan pun reda. Pelangi pun muncul dengan khas warna yang indah. Bergegas ia menyalakan sepeda motor kesayangannya. “Revo badai” Julukannya. Teman-teman kampusnya memberi nama itu sebab gesit, irit, punya mesin yang bandel, dan tentunya tahan banting di jalan berlubang. 

Sesampainya di sungai Tembung, sekujur tubuh Syauqi spontan lunglai. Nasib Syauqi tak kunjung mujur. Bukannya bertemu bidadari, malah bau busuk dan amis yang ia dapatkan. Sampah-sampah di sungai Tembung berserakan menutupi sungai. Mulai dari sampah plastik hingga babi peternakan Mandala yang hanyut. Ditambah lagi, air sungai yang nyaris meluap ke badan jalan. 

Ternyata setelah dipikir-pikir, ia telah melupakan sepotong ucapan dari sang atok, bahwa “walaupun ada pelangi, bidadari tak akan turun mandi, jika sampah sampah masih saja berserakan mengotori sungai.”

Ia hanya bisa diam menatap pelangi, dan masih berharap agar kelak bidadari mau turun dari langit.

Andre Syahbana Siregar

Guru, Pewarta Weread.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *