Syahdan, ketika Andre mengutarakan ingin menerbitkan buku, saya langsung mendukungnya tanpa tedeng aling-aling. Bagaimana tidak, obsesiku memang mendukung banyak penulis baru yang berani muncul ke gelanggang. Dan, Andre sosok laki-laki yang agak tambun itu, meskipun masih berbilang tahun aku mengenalnya sejak 2017 awal, tapi ia adalah pembelajar yang cepat. Jadi, soal rencana menerbitkan buku, memang ia sudah seharusnya melakukannya dari dulu.
Nama lengkapnya Andre Syahbana Siregar. Orang yang mendengarnya pastilah berpikir ia salah satu keturunan sang begawan sastra Sutan Takdir Alisjahbana yang mahsyur itu. Entah karena orang tuanya yang mengidolakan tokoh yang lahir dari tanah di mana marga Siregar muncul atau karena alasan lain, kalau melihat ejaan nama, Andre Syahbana jelas mengikut ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan karena lahir di tahun 90-an, dan yang pasti Alisjahbana menulis puisi, pun Andre Syahbana. Hanya saja karakter puisi dari keduanya berbeda. Andre Syahbana menulis sejarah dalam diksi puisi, ini sesuai dengan bidang studi yang ia geluti, meskipun ia mahir menulis topik lain, tapi pada sejarah ia sudah cinta mati.
Puisi sejarah, prase ini tentu tidak perlu diperdebatkan, karena ia muncul dari pikiran orang yang tidak begitu mengerti dunia sastra. Yang saya maksud dari puisi sejarah adalah diksi dan substansi isi puisi bernuansa tentang pristiwa masa lalu, baik tokoh, setting cerita maupun pilihan kata. Sudah sampai situ saja yang saya maknai. Sebagai orang dengan latar belakang bacaan ilmu sosial keagamaan, saya melihat narasi puisi yang ditulis Andre Syahbana sejak 2013 dalam buku ini bermuatan tentang puisi sejarah. Meskipun saya agak curiga, ia menulis puisi tidak sejak tahun-tahun itu, bisa jadi jauh dari tahun-tahun sebelumnya. Namun, karena ia akan menerbitkannya dalam sebuah karya buku, akan lebih mengena kalau disusun secara tematik. Layak ditunggu goresan Andre Syahbana dengan topik-topik yang berbeda muncul kehadapan para pembaca pecinta dunia sastra maupun mereka yang tidak.
Buku yang berjudul Tahun Tahun Terakhir, Sumatera Timur, Revolusi, dan Cinta ini kalau anda baca dan kemudian selami samuderanya, maka akan ditemukan artepak cerita sejarah tentang sebuah negeri yang nun jauh dari Jawa dulu kala. Sebuah negeri yang memiliki karakter budaya, tipologi masyarakat yang berbeda, sebuah negeri tempat lahirnya para ketua. Diksi-diksi yang dipilih oleh Andre Syahbana memberikan isyarat sosiologis jika dibaca dengan kaca mata hermenuetis, bahwa sejarah masa lampau membentuk apa yang terjadi hari ini.
Sebagai anak muda yang lahir ‘kemarin sore’ Andre Syahbana memberikan alternatif pilihan bagi generasinya dan generasi sesudahnya yang serba digital untuk menemukan kembali jati diri negerinya, pembentuk kepribadiannya, identitas sosialnya dan begitu seterusnya. Anak-anak yang kehilangan identitas sejarah masa lalunya, patut membaca karya ini sebagai bagian dari refleksi untuk menemukan ketersambungan narasi sejarah yang mungkin bisa saja terputus. Apalagi soal sejarah perlu didekati dengan beragam metode, puisi adalah salah satunya, karena selama ini narasi sejarah sungguh terlalu kaku, menghafal nama tokoh, nama tempat dan pasti yang tidak terlewati hafal mati tahunnya, metode yang menjadikan sejarah menjenuhkan sekali. Maka saat hegemoni metode mencekram pembelajaran sejarah, puisi sejarah menjadi alternatif.
Saya ingin mengakhiri tulisan singkat ini yang diminta oleh Andre Syahbana secara khusus sebagai sambutan atas terbitnya catatan puisi sejarahnya dengan sebuah puisi, meskipun ia tahu, kalau saya tidak pernah menerbitkan buku puisi namun bisa jadi ia tahu kalau saya sesekali menulis puisi.
Kau tahu apa tentang Medan?
Cakapmu sudah kayak orang kerasukan
Kau tahu apa tentang Medan?
Nyalimu cuman sekedar gertakan
Kau tahu apa tentang Medan?
Dua orang bicara biasa sudah macam berkelahi saja
Tau kau Medan?
Inilah negeri para ketua yang hari-harinya penuh dengan ‘engkolan’
Batang Kuis,
Akhir Nopember 2020