Sontek

Dari Sepakbola Jalanan Menuju Harapan Merubah Kehidupan

Berbicara tentang sepakbola jalanan, pasti kita akan terkenang masa kecil yang kebiasa bermain sepakbola tanpa beralaskan kaki di jalanan rumah dengan tiang gawang ber-sandal-jepit-kan dan peluit panjang adzan maghrib berkumandang.

Hal tersebut merupakan sebuah momen menarik yang kini sulit dan sangat teragakkan. Anak-anak zaman now lebih memilih bermain di lapangan yang sudah disediakan dengan membayar uang sewa. Sebuah perilaku yang sudah jauh berubah di mana dahulunya anak-anak banyak memanfaatkan jalan atau pun tanah warga yang tidak digunakan untuk dijadikan sarana bermain sepakbola.

Perubahan perilaku anak-anak di masa kini banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya semakin banyaknya tanah warga yang dijadikan bangunan rumah (property) daripada dibiarkan kosong begitu saja. Sikap pemilik tanah yang lebih memilih keuntungan daripada membuka ruang bermain gratisan kepada anak-anak adalah sebuah kewajaran mengingat kondisi sosial-ekonomi yang semakin tinggi persaingan. Perubahan ini yang semakin mempersempit ruang anak-anak untuk bermain sepakbola ruang bebas.

Yang paling disayangkan dengan semakin sempitnya ruang untuk anak-anak bermain sepakbola jalanan adalah hilangnya bakat. Hanya orang tua yang memang menggilai sepakbola atau berduit saja yang akan menyekolahkan anak mereka ke Sekolah Sepak Bola (SSB). Dengan tujuan yang tidak begitu kuat dalam menekuni sepakbola, anak yang disekolahkan di SSB belum tentu akan menjadi pemain sepakbola nantinya. Menurut pengelola sekolah sepakbola di Saint Prima Bandung, tidak sampai 1% dari keseluruhan anak yang kelak akan melanjutkan tujuannya menjadi pemain sepakbola profesional. Hal tersebut sering terjadi pada anak usia 14-17 tahun yang sudah masuk masa pubertas di mana seorang anak sering berperilaku menyukai hal-hal yang baru sehingga tidak fokus untuk mendalami satu bidang tertentu.

Anak dengan bakat sepakbola dan tumbuh dari jalanan, memiliki mental yang lebih kuat untuk berkembang. Pemain-pemain kelas dunia seperti Luis Suarez, Ronaldo, Zidane dan lainnya adalah sedikit contoh pemain sepakbola hebat yang tumbuh dan mengembangkan bakat sepakbolanya dari jalanan; yang merupakan ruang publik yang paling efektif untuk disulap menjadi arena sepakbola.

Ketidakpekaan orangtua terhadap bakat sepakbola anak; atau malah sering bertindak represif terhadap kesenangan anak sangatlah membendung bakat anak. Dengan takdir yang harus dipahami oleh semua orangtua adalah tidak semua anak terlahir menjadi pintar haruslah dipahami betul. Sebab, setiap anak pasti dilahirkan dengan bakat; yang berbeda satu sama lain.

Hal ini harus diperhatikan oleh pemangku kuasa di ranah sepakbola tanah air bahwa memberi ruang dan mengajarkan kepada setiap orangtua bahwa sepakbola dapat menjadi ‘jalan lain’ untuk mengubah kondisi ekonomi bukanlah hal yang mustahil selama pemerintah dapat berkolaborasi bersama orangtua memberikan dorongan kuat kepada anak.

Kultur Indonesia yang mirip dengan negara Amerika Latin.

Indonesia dapat memetik pelajaran bagaimana negara Brazil, Argentina, dan Uruguay terus menelurkan bakat sepakbola kelas dunia dari tahun ke tahun. Di tiga negara tersebut, yang memiliki kultur sosial yang hampir mirip seperti di Indonesia, di mana anak-anak kalangan sosial menengah ke bawah bermain sepakbola dengan bebasnya. Bila kita berjalan di beberapa kota di Brasilia, Buenos Aires atau Montevideo, banyak anak-anak yang hingga kini memanfaatkan ruang publik untuk bermain sepakbola. Semisal di jalanan sempit kota amat kumuh yang memiliki tingkat kriminalitas yang tinggi. Apa yang menyebabkan pemain-pemain terkenal seperti Ronaldo, Ronaldinho dan legenda Pele sukses menjadi pesepakbola tersohor adalah dorongan dan mental yang kuat bahwa menjadi pemain sepakbola merupakan jalan lain untuk mengubah nasib keluarga mereka.

Sepakbola adalah jalan lain mencapai penghidupan yang lebih baik bagi anak-anak Indonesia bukanlah hal yang mustahil. Namun, ada saja beberapa oknum yang lebih mementingkan keuntungan daripada perkembangan bakat sepakbola anak. Rocky Putiray, eks pemain Timnas Indonesia pernah mengatakan anak-anak dari kalangan ekonomi bawah sering kali menjadi korban praktik kolusi dan nepotisme. Di kompetisi antar kampung saja, praktik tersebut masih banyak dilakukan. Pemain junior di klub yang ingin naik ke tim utama sering terkendala karena uang. Jelas yang punya uang mampu membayar dan dapat bermain di tim utama, dengan kualitas yang biasa-biasa saja. Ini membuat asa anak-anak bangsa yang ingin hidup dari sepakbola kandas. Tidak jarang pula, banyak pemain-pemain yang merasa putus asa di jalur sepakbola pro, lebih memilih jalan lain dan bekerja apa saja untuk melanjutkan hidupnya karena kenyataan bahwa sepakbola masih penuh dengan praktik-praktik kolusi dan nepotisme adalah sebuah kebiadapan.

Dari uraian tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa bakat dan peran orangtua tidak dapat dipisahkan. Pemerintah selaku pemangku otoritas harus membangun sistem kompetensi sepakbola berkelanjutan pada usia dini agar anak-anak dapat mengasah bakatnya. Dengan membuang jauh-jauh praktik-praktik keji kolusi dan nepotisme, masih ada harapan dari bangsa ini untuk menelurkan bakat-bakat sepakbola hebat dikemudian hari. Sepakbola adalah jalan lain menuju kesejahteraan bukanlah isapan jempol belaka. Anak-anak juga perlu diperhatikan sebagai penerus bangsa bukan sebagai penambah jumlah populasi bangsa. (SR-WRID)

Syahru Saragih

Anak Teknik, pecinta cerita masa lalu, singkat cerita, pengen tahu banyak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *